13 April 2009

BAB 1 SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami sejarah kelahiran dan perkembangan sosiologi baik di luar negeri maupun di Indonesia.

1.1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.

1.2. Sosiologi dan Pengetahuan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang paling mulia. Sejak lahir Tuhan mengkaruniai manusia akal budi. Akal budi diciptakan untuk berfikir, berkehendak, dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan.

Sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika. Logika merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran. Ketika kita sudah mengetahui batasan sosiologi, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan?
Kalau para pelopor sosiologi, sejak dahulu tentunya menganggap bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Namun benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui dahulu apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dan pengertahuan itu dapat dikontrol oleh orang lain atau umum (obyektif). Atau ilmu pengetahuan bisa dirumuskan apabila memiliki beberapa elemen (unsur) yang menjadi suatu kebulatan, yaitu :
 pengetahuan (knowledge)
 tersusun secara sistematis
 menggunakan pemikiran
 bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi, pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan angan-angan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan diterapkan langsung.

1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)

Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS (FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan. Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit analisis.
Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan..
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri, ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang, terutama pendapatnya tentang “agama sebagai candu masyarakat“ (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat (juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Bukunya yg terkenal berjudul “ A Contribution to the histoy of Medieval Business Organizations” dan “ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” (1904) . Dalam bukunya yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan “nominalis” yg lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi social.


1.3.4. Émile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul “ The division of Labor in Society” (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci. Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui factor penyebabnya.

1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.

Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan!

BAB 2 PENGERTIAN DAN OBYEK STUDI SOSIOLOGI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami pengertian, obyek studi, dan pembagian sosiologi.

2.1. Pengertian Sosiologi
Istilah sosiologi barangkali sudah sering dibicarakan dan didengar orang. Akhir-akhir inipun ketika terjadi kerusuhan dan konflik di beberapa daerah di Indonesia, banyak analisis di media yang mengatakan “secara sosiologis”. Namun demikian tidak banyak orang yang memaknai istilah sosiologi secara tepat. Akibatnya sedikit pula yang bisa memberi penjelasan istilah sosiologi dengan benar. Jadi apa sebenarnya penjelasan mengenai hal tersebut?
Kata “sosiologi” berasal dari kata socius dan logos. Socius berasal dari kata Latin yang berarti kawan atau berkumpul; dan logos berasal dari kata Yunani yang berarti ilmu atau pelajaraan. Jadi berdasar asal katanya sosiologi diartikan ilmu tentang hidup bersama atau ilmu tentang masyarakat. Pengertian yang demikian apakah sudah bisa memberikan penjelasan mengenai sosiologi? Tentunya pengertian ini belum menjelaskan mengenai apa sosiologi itu.
Dalam banyak literatur istilah sosiologi seringkali diberikan batasan pengertiannya hanya dengan suatu rumusan yang singkat dan pendek. Akibatnya rumusan pendek dan singkat ini kurang dapat dimengerti dan kurang memberikan penjelasan sebagaimana yang diharapakan.
Beberapa contoh definisi sosiologi yang bisa dikemukakan yaitu :
1. Roucek dan Warren :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
2. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff :
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
3. JAA Van Doorn dan CJ Lamners :
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
4. Mac Iver :
Sociologi is about social relationship, a network of relationship we call society
5. Gillin dan Gillin :
Sociology is the study of interaction arising from the association of living beings.
6. Ogburn :
Sociology is a body of learning about society
7. Bogardus :
Sociology is definied as study of the ways in which social experiences function in developing, maturiting, repressing human beings through inter-personal stimulation.
8. Cuber :
Sociology is defined as a body of scientifict knowledge about human relationships.
9. Kimball Young :
Sociology deals with behavior of men
10. Ginsberg :
Sociology is the study of human interaction, interactions, their interactions and consequences.
11. Giddings :
Sociology is a science of social phenomena.

Definisi di atas merupakan beberapa dari banyak definisi yang diberikan oleh para ahli sosiologi. Hal yang pasti dari definisi yang umumnya pendek dan singkat kadang-kadang tidak banyak kejelasan yang diperoleh. Selain tidak jelas, definisi tersebut kadang-kadang pula belum menunjukkan batasan-batasan antara sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lain yang juga melihat masyarakat sebagai obyek studinya.
Definisi yang cukup memadai dan bisa dijadikan acuan antara lain yang dikemukakan oleh Waters dan Crook (1990), yang menyatakan :Sociology is the systematic analysis of the structure of social behavior.
Dari definisi Waters dan Crook di atas setidaknya terdapat empat elemen penting, yang memberikan bukan saja penjelasan mengenai apa sosiologi itu, tetapi juga batas-batas yang membedakannya dari ilmu-ilmu sosial lain.
Pertama, sosiologi mempelajari perilaku, tetapi perilaku yang dikaji adalah perilaku dalam karakter sosial, bukan individual. Perilaku berkarakter sosial merupakan perilaku yang ditujukan bagi orang lain dan bukan bagi dirinya sendiri, serta memiliki konsekuensi bagi orang lain, atau perilaku itu merupakan konsekuensi dari orang lain. Jadi di sini ada hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lainnya.
Kedua : perilaku sosial yang dipelajari oleh sosiologi itu adalah perilaku yang berstruktur. Struktur menunjuk pada adanya pola (pattern) atau menunjuk aadaanya keteraturan tertentu. Suatu perilaku itu berstruktur jika terdapat pola atau keteraturan tertentu. Suatu perilaku sosial yang hanya terjadi sekali saja dan kemduian tidak terjadi lagi, bukanlah merupakan bidang kajians sosiologi. Sosiologi tidaklah semata-mata hanya menjelaskan secara deskriptif suatu perilaku sosial, tetapi lebih dari itu, sosiologi berupaya menjelaskan dan berusahaa memahami kaitan antara elemen-elemen perilaku sosial.
Ketiga : penjelasan sosiologi itu bersifat analitis. Setiap ilmu pengetahuan senantiasa terdiri dari (1) content / the body of knowledge atau substansi dari ilmu pengetahuan itu dan (2) methods / procedures atau tata cara bagaimana substansi pengetahuan itu diperoleh secara sistematis. Ini berarti bahwa dalam sosiologi terdapat pula prinsip-prinsip metodologis yang diterapkan dalam menjelaskan perilaku sosial tersebut, dan bukan berdasarkan pada konsensus atau kesepakatan yang berlaku khusus. Terdapat kaidah atau prinsip metodologi penelitian tertentu yang digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial dalam sosiologi.
Keempat : penjelasan sosiologi bersifat sistematis. Ini berarti bahwa dalam memahami perilaku sosial sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengikuti tatanan atau aturan-aturan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.



2.2. Pandangan Para Perintis Sosiologi Tentang Sosiologi
2.2.1. Emile Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Untuk memahami konsep fakta sosial ini, Durkheim menyajikan contoh misalnya pendidikan anak. Sejak bayi anak diwajibkan untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga kebersihan serta ketenangan; diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan.
Contoh-contoh di atas merupakan unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim tersebut : ada cara bertindak, berpikir, berperasaan yang bersumber pada kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada di luar kehendak pribadi individu. Contoh lain dari konsep fakta sosial yang diambil dari buku Durkheim : The Division of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Durkheim mengemukakan bahwa pembagian kerja dalam masyarakat (mungkin di saat sekarang orang cenderung menggunakan istilah lain), seperti spesialisasi. Spesialisasi dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, administrasi merupakan cara bertindak yang dianut secara umum, berada di luar kehendak pribadi, individu.
Kemudian contoh dari buku Suicide-nya : menurut Durkheim laju bunuh diri dalam tiap masyarakat dari tahun ke tahun cenderung relatif konstan-menurut Durkheim ini merupakan fakta sosial. Dalam penelitian Durkheim ditemukan bahwa laju bunuh diri disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar individu.

2.2.2. Max Weber : Tindakan Sosial
Bagi Weber sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Menurut Weber tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Misalnya menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial; tetapi menyanyi di depan umum dengan maksud untuk menghibur orang lain merupakan tindakan sosial.
Menurut Weber suatu tindakan sosial ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Dari contoh di atas nampak bahwa tindakan yang sama : menyanyi - dapat mempunyai makna berlainan bagi pelakunya. Menurut Weber sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai tujuan dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Maka apabila ahli sosiologi ingin memahami makna subyektif suatu tindakan sosial ia harus dapat membayangkan dirinya di tempaat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Suatu contoh hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pelacur, misalnya seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka.

2.3. Pembagian Sosiologi : Makrososiologi dan Mikrososiologi.
Kebiasaan para ahli di kalangan sosiologi dijumpai mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi ke dalam dua bagian. Nama-nama yang diberikan tidak selalu sama, misalnya broom dan Selznik membedakan tatanan makro dan tatanan mikro; jack Douglas membedakan antara perspektif makrososial (macrosocial perspective) dan perspektif mikrososial (microsocial perspective); Doyle Paul Johnson membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro, dan Randal Collins membedakan antara makrososiologi (macrosociology) dan mikrososiologi (microsociology). (Sunarto, 2004:16). Dalam pandangan Collins penjabaran dalam makrososiologi dan mikrosoisologi meliputi :

Tabel 1
Pembagian Mikrososiologi dan Makrososiologi
Hal yang dibahas Mikrososiologi Makrososiologi
Analisis Analisis terinci mengenai apa yg dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dlm laju pengalaman sesaat Analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang
Skala ruang Pokok bahsan mulai dari seseorang, kelompok kecil Pengelompokan yang lebih besar spt kerumunan atau organisasi, komunitas, masyarakat teritorial.
Skala Waktu Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam waktu pendek (detik, menit, jam) Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam jangka waktu lebih panjang

Pertanyaan :
1. bagaimana pengertian sosiologi seperti dikemukakan oleh Waters and Crook? Definisi yang dikemukakannya memuat penjelasan mengenai apa yang dipelajari dalam sosiologi. Jelaskan!
2. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Siapa yang mengemukakan pernyataan tersebut? Jelaskan pernyataan tersebut dan berikan contoh!
3. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta sosial. Siapa ynag mengemukakan tersebut? Jelaskan fakta sosial dan berikan contoh!

BAB 3 PERSPEKTIF /TEORI UTAMA DALAM SOSIOLOGI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami beberapa teori/perspektif utama dalam soiologi.

Untuk menelaah sesuatu kita harus mulai dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang akan kita pelajari. Misalnya menurut orang-orang Yunani Kuno alam semesta beroperasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuwan berasumsi bahwa alam semesta bersifat tertib dan berjalan menurut cara-cara yang teratur. Oleh karena itu Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa apel selalu jatuh ke bawah, tidak pernah ke atas. Seperangkat asumsi kerja disebut suatu “perspektif” atau “suatu pendekatan” atau teori. Perspektif-perspektif apa yang dipakai dalam sosiologi ?

3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspkektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi, menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk teknologi yang maju dan membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi) dapat dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan gambar, tetapi televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa mengganggu konsentrasi dalam bekerja atau belajar atau membuat malas anak-anak untuk belajar.
Dalam pandangan penganut evolusi terdahulu televisi akan dilihat sebagai sesuatu hal yang baik dari kemajuan masyarakat tanpa melihat sisi buruknya.
Penganut teori evolusi masa kini pada umumnya memusatkan perhatiannya pada upaya mencari pola-pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mencari urutan umum yang dapat ditemukan. Dengan demikian perspektif evolusi ini masih merupakan perspektif yang cukup populer, meskipun perspektif ini bukan perspektif utama dalam perkembangan sosiologi.

3.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional
Perspektif teori struktural fungsional memiliki akar pada pemikiran Emile Durkheim dan Max Weber, dua ahli sosiologi klasik yang terkenal. Sedangkan dalam perkembangan kemudian, perspektif ini juga dipengaruhi oleh karya Talcott Parson dan Robert Merton, dua ahli sosiologi kontemporer yang terkenal pada masa kini. Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium.
Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan organ atau bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan musuh adalah fungsi. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukans secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan staus ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang dengan fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktural fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal dari salah satu bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lin.
Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan). Misalnya mata, fungsinya adalah melihat sesuatu dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah dengan mata orang dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama menegakkan peraturan, sedangkan fungsi lanjutannya adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak, menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK, membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberiu sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang terjadi dalam sistem sosial.

3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan (power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi (ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi, kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi. Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya) tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya. Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan, teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial merupakan proses yang terus menerus dengan mengembangkan keselarasan (harmony), sebaliknya teori konflik melihat proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus menuju sasarannya. Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan pada konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat masyarakat itu pada dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan perubahan yang terus menerus. Jika teori struktural fungsional dikritik karena terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta mengabaikan perubahan, sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.

3.4. Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan John Dewey, TH. Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, struktural fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal fungsional maupun konflik berada pada tataran sosiologi makro, yang melihat masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya, lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori interaksionisme simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan perhatiannya pada individu dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran, pola interaksi yang dibuat individu. Meski antar berbagai perspektif kedua tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai padaadsarnya terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam masyarakat tersebut dalam tingkatan simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna simbol dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di perempatan yang ada lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun berhenti, padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya. Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu bahwa lampu merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh lain adalah, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya merupakan tanda bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan tangannya tentu bermakna sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka Social Construction of Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial Atas Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga suatu kenyataan subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung atau penindas masyarakat, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadi-ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Dalam hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif terhadap lainnya, mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun mengapa lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara orang-orang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme simbolik memahami individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman lingkungan sosial (social setting), dari sinilah kemudian dapat dipahami interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya.

3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif yang lain, di mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi, maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada dasarnya adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Dalam lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa untuk mendapatkan keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis, psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi. Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial yang rendah akan “mempertukarkan” “kecantikan” yang dimilikinya itu dengan “harta” dan “masa depan” yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status, berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak, nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan, maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial, ganjaran dan hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti prisnsip teeori interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan atas semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan Blau, pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga pertukaran pada dasarnya berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam pandangan perspektif ini uang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu mengartikannya demikian, tetapi dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena seseorang telah bekerja dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau perhatian dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak dalam pertukaran menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain. Menurut Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair exchange. Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang masing-masing memiliki kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini tidak seimbang maka salah satu berada pada posisi dirugikan dan lemah, sedang pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu mengontrol dalam hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang kriteria pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu pihak terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir. Jadi dalam pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai proses dimana didalamnya terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan sosial yang terjadi didasrkan pada kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.

Pertanyaan :
1. Deskripsikan dengan singkat teori evolusi. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena sosial apa saja teori tersebut?
2. Deskripsikan dengan singkat teori konflik. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena sosial apa saja teori tersebut
3. Deskripsikan dengan singkat teori struktural fungsional. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena sosial apa saja teori tersebut
4. Deskripsikan dengan singkat teori interaksionisme simbolik. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena sosial apa saja teori tersebut
5. Deskripsikan dengan singkat teori pertukaran sosial. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena sosial apa saja teori tersebut

BAB 4 METODE SOSIOLOGI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami metode-metode yang sering dipakai dalam sosiologi.

Sosiologi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, lahir, tumbuh dan berkembang. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan yang dinamakan penelitian sosial. Melalui penelitian sosial.,ini para ahli sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan mengesai sasaran perhatian mereka, yakni masyarakat.Melalui penelitian sosial para ahli sosiologimenemukan fakta baru yang memperluas cakrawala serta memperdalam pemahaman kita sehingga merupakan sumbangan ke arah pengembangan sosiologi.
Cara untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli perlu memperhatikan tahap penelitian. Walaupun jumlah serta jenis tahap yg dijabarkan dalam berbagai buku penuntun metode penelitian tidak selalu sama, namun dalam kebanyakn buku tersebut dijumpai beberapa tahap yg dianggap pokok, yaitu tahap:
1. perumusan masalah
2. penyusunan disain penelitian
3. pengumpulan data
4. analisis data
5. penulisan laporan peneltian

4.1. Perumusan Masalah
Ilmu Sosiologi semakin berkembang berkat hasil pemikiran dan hasil penelitian sejumlah ahli besar sosiologi, terutama mereka yg telah berhasil mengungkapkan temuan-temuan baru.
Sebelum memulai suatu penelitian, seorang ahli sosiologi terlebih dahulu melakukan tinjauan pustaka (literature review), yaitu tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka yang ada di bidang yang bersangkutan agar dapat mengetahui temuan-temuan apa sajakah yang sebelumnya pernah dilakukan oleh ahli sosiologi lain.Seseorang yang ingin meneliti masalah sosiologi agama misalnya, paling tidak perlu mengenal tulisan tokoh klasik seperti Emile Durkheim dan Max Weber, maupun tokoh masa kini seperti Robert Bellah, Peter Berger. Mereka yang ingin meneliti masalah sosiologi pedesaan perlu membaca tulisan ilmuwan seperti Selo Soemardjan, Koentjaraningrat, Loekman Soetrisno.
Kadang-kadang seorang peneliti melakukan penelitian terhadap obyek tertentu tanpa terlalu memperhatikan hasil karya sosiologi lain yang berkecimpung dalam bidang yang sama.Mungkin saja beberapa orang peneliti melakukan kegiatan penelitian serupa, tanpa saling mengetahui kegiatan masing-masing. Kemudian masing-masing merasa ia melakukan sesuatu yang asli, menemukan sesuatu yang baru. Misalnya saja, selama tujuh tahun, baik Luc Montagnier dari Institut Pasteur di Paris maupun Gallo dari Institut kesehatan Nasional AS di Bethesda, Maryland, masing-masing bersiteguh bahwa ialah yang pertama kali menemukan virus HIV yang menjadi penyebab penyakit AIDS. Semula tercapai kata sepakat bahwa kedua-duanya berhak mendapat penghargaan sebagai penemu virus HIV, tetapi kemudian Gallo dituduh telah melakukan kecurangan.
Kemungkinan lain seseorang merasa telah menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah ditemukan oleh ahli lain terdahulu. Masalah ini banyak ditemui dalam masyarakat yang sedang berkembang di mana sarana komunikasi ilmiah seperti perpustakaan, buku, majalah, makalah ilmiah masih langka dan tradisi tukar menukar informasi ilmiah masih lemah, sehingga seorang ilmuwan seolah-seolah bekerja sendiri secara terisolasi. Suatu penelitian diawali dengan suatu masalah penelitian, tidak selalu berarti masalah sosial. Sebagai contoh Durkheim tertarik pada gejala bunuh diri, yang dirumuskan sebagai "semua kasus kematian yang secara langsung ataupun tidak langsung dihasilkan oleh suatu tindak posistif atau negatif si korban sendiri, yang diketahuinya kan membawa hasil tesebut." Pertanyaan penelitian Durkheim adalah faktor sosial apakah yang mempengaruhi angka bunuh diri dalam masyarakat? Kenapa angka tersebut berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya? Dan kenapa angka bunuh diri dalam masyarakat dapat berubah? Penelitian tersebut mengkaji data bunuh diri di berbagai wilayah di Eropa kemudian menghasilkan karyanya yang terkenal SUICIDE (1968)


4.2. Penyusunan Disain
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan sehingga si peneliti mempunyai suatu gambaran mengenai apa yang hendak diketahuinya melalui peneliitian, maka ia harus menemukan metode penelitian.
Jenis penelitian yang dimaksud terdiri atas :
4.3.1. Survai
Survai adalah sutu jenis penelitian yang mana di dalamnya hal yang hendak diketahui oleh peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan (questionnaire) baku. Misalnya Karl Max mengirim daftar pertanyaan ke 25.000 orang buruh di Perancis, dan Max Weber pun dikabarkan melakukan teknik survei dalam peneltiannya.
Suatu daftar pertanyaan pada umumnya memuat sejumlah pertanyaan yang dikenal dengan nama pertanyaan tertutup karena subyek penelitian diminta
memilih satu dari sejumlah jawaban yang telah disediakan oleh peneliti. Ada pula jenis daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, yakni pertanyaan yang dijawab secara bebas sesuai dengan keinginan subyek penelitian.

4.3.2. Pengamatan
Pengamatan (Observation) merupakan suatu metode penelitian nonsurvei. Peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku seseorang atau sekelomok orang dalam kurun waktu yang relatif lama, seorang peneliti memperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak data yang bersifat mendalam dan rinci, dimana suatu hal yang agak sulit dicapai melalui metode survei.
Selain itu, pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan, yang mungkin kurang nampak bila ia menggunakan metode survai.

4.3.3. Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam sosiologi yang jarang digunakan tetapi dianggap dapat mengungkapkan data yang penting mengenai pengalaman subyektif yang penting bagi pengembangan teori sosiologi. Kajian terhadap riwayat hidup dapat mengungkapkan data baru yang belum terungkap dengan memakai teknik pengmpulandata lainnya. Studi Sosiologi yang terkenal yang memakai pendekatan ini adalah tulisan Thomas dan Znaniecki: The Polish Peasants in Europe dan America. Tulisan lainnya yg menggunakan metode ini adalah buku yang berjudul The Jack-Roller yang mengisahkan riwayat hidup seseorang yang disekap dalam rumah tahanan untuk anak nakal.

4.3.4. Studi Kasus
Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial sutu kelompok sosial menyeluruh. Penelitian studi kasus klasik dalam sosiologi ialah penelitian Robert S. Lynd dan Helen Merrel Lynd terhadap kehidupan masyarakat sutu kota kecil di AS bagian tengah yang mereka beri nama samaran Middletown. Tujuan penelitian ini sangat luas karena mencakup segi pencaharian nafkah, pembentukkan rumah tangga, sosialisasi anak, penggunaan waktu luang, kegiatan di bidang keagamaan sampai pada keterlibatan dalam kegiatan komunitas. Hasil penelitan mereka dituangkan dalam dua buku: Middletown: A Study in Modern American Culture (1929) dan Middletown in Transition: A Study in Cultural Conflict (1937).

4.3.5. Analisis Isi
Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni sastra. Data dari berbagai sumber tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk yang dapat dianalisis secara kuantitatif.

4.3.6. Eksperimen
meskipun teknik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi, namun dalam hal tertentu kita juga menjuampai eksperimen dalam sosiologi. Salah satu contoh adalah penelitioan yang dilakukan oleh Michael Wolff. Ia melakukan studi mengenai interaksi diantara pejalan kaki dikala mereka berpapasan di tengah kota. Dalam eksperimen ini anggota tim peneliti berjalan lurus ke depan meskipun dari arah berlawanan seorang pejalan kaki lain berjalan tepat ke arahnya untuk melihat bagaimana reaksi pihak lawan di kala
kedua orang hampir bertabrakan. Dari berbagai reaksi tersebut kemudian disimpulkan adanya pola tertentu dalam interaksi demikian (gerak tubuh dan gerak tangan tertentu untuk menghindari kontak fisik, benturan kecil yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, umpatan manakala benturan terjadi).
Eksperimen dapat pula terdiri atas perbandingan anatara kelompok yang diberi perlakuan (experimental group) dan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Control Group). Eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok yang anggotanya dianggap mempunyai ciri yang sama.

4.3.7. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian yang menggunakan metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif, karena data yang dikumpulkan dapat diukur, seperti tinggi pendidikan, banyaknya jenis pekerjaan, besarnya penghasilan warga. Pendekatan ini dapat pula menggunakan metode penelitian lain seperti eksperimen, penggunaan data yang tersedia atau analisis isi.
Sedangkan pendekatan kualitatif, mengutamakan segi kualitas data. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain teknik pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam.

4.4. Analisa Data dan Penulisan Hasil Penelitian
Setelah penelitian lapangan selesai, data kemudian diolah dan dianalisis. dalam tahap analisis data kuantitatif jawaban yang diberikan para subyek suatu penelitian survai dihitung frekuensinya untuk mencari keteraturan sosial.
Dengan memakai data kuantitatif, peneliti dapat mempelajari ada tidaknya kecenderungan tertentu dalam masyarakat.
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisanya jauh berbeda. Peneliti harus mempelajari beratus-ratus, dan bahkan mungkin beribu-ribu halaman catatan penelitian yang dibuatnya tiap hari tatkala dia berada di lapangan, yang secara rinci memuat tidak hanya hasil wawancara mendalam dengan para subyek penelitian serta orang lain yang berada di tempat penelitian.

Pertanyaan :
1. Dalam sebuah penelitian, peneliti perlu melakukan literature review. Mengapa dan untuk apa literature review?
2. Kewaspadaan apa yang diperlukan dalam mempergunakan laporan saksi mata sebagai sumber data ilmiah?
3. Bila anda terlibat/melihat dalam suatu perdebatan sengit di lingkungan mahasiswa, dengarkan setiap pernyataan yang dikeluarkan, dengan mempertanyakan sbb dalam pikiran : Seberapa jauh pernyataan itu didasari fakta ilmiah atau dugaan, dongeng, impian? Pada kesimpulan pernyataan apa saja yang dapat dibenarkan secara ilmiah?

BAB 5 INTERAKSI SOSIAL

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui interaksi sosial.

5.1 Pengertian
Pengertian interaksi sosial menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok, maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.
Interaksi sosial tidak selalu ditandai dengan mengadakan kontak muka atau berbicara, tetapi interaksi sosial bisa terjadi manakala masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan misalnya karena bau minyak wangi. Hal itu bisa menimbulkan kesan di dalam fikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.
nterkasi yang terjadi antar kelompok-kelompok manusia, misalnya pada tawuran antar pelajar satu sekolah dengan sekolah lain, peperangan antar etnis, pertikaian kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain, pertemuan para senat mahasiswa perguruan tinggi se Indonesia, pertemuan perguruan tinggi dengan pemerintah daerah setempat dll.
Interaksi yang terjadi antar orang perorangan dengan kelompok, misalnya interaksi dosen dengan mahasiswanya di dalam kelas, interaksi seorang pembicara dalam seminar dengan peserta seminar dll.

5.2. Syarat-syarat terjadinya interkasi sosial
Interaksi sosial terjadi setidaknya memenuhi dua syarat :
1. Adanya kontak sosial
Secara fisik kontak sosial bisa berarti sebagai kontak yang terjadi hubungan badaniah; sementara sebagai gejala sosial tidak perlu adanya hubungan badaniah, oleh karena seseorang dapat mengadakan hubungan dengan fihak lain tanpa menyentuhnya. Misalnya seseorang yang berbicara melalui telepon, e-mail, surat, radio dll. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat adanya kontak. Jadi kontak merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Kontak terjadi misalnya kontak antara suatu pasukan dengan pasukan musuh. Ini berarti bahwa masing-masing pihak telah mengetahui dan sadar akan kedudukan masing-masing dan siap untuk bertempur (yang biasanya disebut kontak bersenjata)
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu :
(1) antara orang perorangan, misalnya apabila anak kecil diajarkan oleh orang tuanya mengenai sopan santun, kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya; dua orang saling berbicara dll.
(2) Antara orang perorangan dengan suatu kelompok atau sebaliknya.
Misalnya ketua partai politik menyuruh para anggota-anggota paartainya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi/program partai
(3) Antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Misalnya dua atau lebih partai politik berkoalisi untuk mengalahkan partai politik yang lain.

Selain itu suatu kontak dapat pula bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum dll. Sebaliknya kontak sekunder memerlukan perantara. Misalnya A berkata kepada B, bahwa C mengagumi kepintarannya bermain catur. A sama sekali tidak bertemu dengan C akan tetapi terjadi kontak antara mereka, karena masing-masing memberi tanggapan, walaupun dengan perantaraan B. Hubungan sekunder misalnya bisa dilakukan juga melalui telepon, radio, e-mail dll. Akan tetapi apabila A meminta tolong kepada B supaya diperkenalkan dengan gadis C, maka kontak tersebut bersifat sekunder tidak langsung.

2. Adanya komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampian pesan dari komunikator (penyampai) pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Komunikasi berlangsung apabila seseorang menyampikan suatu stimulus (rangsang) yang kemudian memeproleh arti tertentu yang dijawab (respon) oleh orang lain.

Komunikasi diartikan bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (bisa berupa pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap); dan perasaan-perasaan apa yang ingin disampikan oleh orang tersebut. Orang tersebut kemudian memberikan respon/reaksi terhadap apa yang disampaikan. Misalnya apabila seorang gadis menerima seikat bunga, secara spontan ia akan mencium bunga tersebut; akan tetapi yang menjadi pertanyaan dari gadis tersebut adalah siapa yang mengirim bunga tersebut, dan apa yang menyebabkan dia mengirimkannya. Apakah bunga tersebut dikirimkan sebagai tanda cinta, perhatian, untuk mendamaikan suatu perselisihan, untuk peringatan hari ulang tahun, untuk memenuhi janji, sebagai tanda simpati atas kesehatan seseoraang dll. Apabila gadis tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dia-pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya, dan selama itu juga belum terjadi komunikasi.

Dalam komunikasi terjadi pula berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Misalnya seulas senyum bisa ditafsirkan sebagai keramahtamahan, sikap bersahabat. Lirikan bisa ditafsirkan bahwa mungkin orang tersebut tidak senang atau malah sebaliknya menunjukkan ketertarikan.

5.3. Dasar Berlangsungnya Interaksi Sosial
Dasar berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor yaitu :
1. Imitasi
Imitasi adalah proses meniru yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial.
2. Sugesti
Sugesti adalah proses mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain. Prosesnya akan efektif apabila penerima sugesti dalam kedudukan lebih rendah, dalam keadaan mental yang tidak seimbang, atau apabila pemberi sugesti adalah orang yang lebih berwibawa.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan untuk menjadi sama dengan orang lain yang menjadi idolanya. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk pada proses ini.
4. Simpati
Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Ketertarikan menyebabkan orang cenderung untuk ingin selalu berhubungan.
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.

5.4. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), pertentangan (conflict). Secara rinci bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut :
1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama maerupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerjasa antara lain : bargaining, cooptation, coation, dan joint venture.
(a) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih
(b) Cooptation adalah suatu penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan baru dalam organisasi atau kehidupan politik
(c) Coalition adalah penggabungan dua organisasi atau lebih untuk mencapai tujuan bersama
(d) Joint venture adalah kerjasama dalam pendirian atau penyelesaian proyek-proyek tertentu.
2. Akomodasi
Akomodasi bisa menunjuk sebagai suatu keadaan atau proses. Akomodasi sebagai suatu proses adalah usaha untuk meredakan suatu pertentangan, dalam mencapai kestabilan. Akomodasi sebagai suatu keadaan adalah apabila antara dua kelompok yang saling bertentangan berhenti tidak bertikai, tetapi masih dalam kondisi bertentangan. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain :
(a) Coercion (penggunaan paksaan atau kekerasan)
Adalah suatu akomodasi yang prosesnya dilaksanakan secara paksaan, di mana salah satu pihak menguasai pihak lain.
(b) Compromise (kompromi)
Adalah suatu akomodasi di mana pihak-pihak yang berlawanan saling mengurangi tuntutannya dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan (kompromi)
(c) Arbritation (perwasitan)
Adalah penyelesaian melalui pihak ketiga, apabila masing-masing pihak yang bertentangan tidak mampu menyelesaikan sendiri.
(d) Mediation (mediasi)
Penyelesaian sengketa yang menyerupai arbritation, tetapi pihak ketiga hanya sebagai perantara dan tidak mempunyai kewenangan mengambil prakarsa.
(e) Conciliation (konsiliasi)
Adalah usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai persetujuan bersama.
(f) Toleration (toleransi)
Toleransi merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan bersama. Misalnya toleransi antarumat beragama di Indonesia, masing-masing umat beragama berusaha menghindarkan diri dari perselisihan.
(g) Stalemate (buntu)
Adalah pihak-pihak yang saling bertentangan karena mempunyai kekuatan seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan. Misalnya perang dingin anatar Amerika-Rusia di masa lalu karena masalah nuklir
(h) Adjudication (keputusan pengadilan)
Adalah penyelesaian perkara atau sengketa melalui pengadilan.

3. Akulturasi
Membicarakan akulturasi lebih tepat dalam kaitannyan dengan perubahan kebudayaan. Akulturasi terjadi apabila suatui kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu berinteraksi dengan unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa kelompok lain, sehingga lambat laun unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan yang menyerapnya.

4. Asimilasi
Adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antara kelompok-kelompok yang berbeda tetapi sudah bergaul cukup lama. Asimilasi ideal apabila kebudayaan-kebudayaan dari kelompok yang berbeda berubah saling menyesuaikan diri.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi :
1). Adanya toleransi amsing-masing kelompok
2). Kesempatan dalam bidang ekonomi yang seimbang
3). Sikap saling menghargai kebudayaan amsing-masing
4). Sikap terbuka dan mau bekerja sama
5). Adanya unsur-unsur kebudayaan yang mirip atau memiliki persamaan
6). Antara kelompok yang berbeda terjadi perkawinan
7). Adanya musuh bersama dari luar, sehinggaa menodorng masing-masing kelompok untuk bersatu

Faktor-faktor yang mempersulit terjadinya asimilasi :
1). Perbedaan ciri-ciri fisik badaniah
2). Identitas sosial khas yang terus-menerus dipertahankan
3). Dominasi ekonomi oleh kelompok tertentu
4). Terisolasinya kelompok tertentu dalam suatu kawasan, misalnya kelompok dengan tingkat ekonomi lebih baik menghuni suatu kawasan pemukiman khusus (perumahan elit) akan menyulitkan pembaauran dan asimilasi.

5. Persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok bersaing untuk memperebutkan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Persaingan perorangan disebut persaingan pribadi, sedangkan persaingan yang tidak bersifat pribadi merupakan persaingan antar kelompok, misalnya persaingan antara dua perusahaan dalam memperebutkan daerah pemasaran.

6. Pertikaian atau pertentangan
Pertentangan (conflict) adalah usaha menentang pihak lawan dalam mencapai tujuan. Bentuk-bentuk pertentangan antara lain :
1). Pertentangan pribadi
2). Pertentangan rasial
3). Pertentangan antara kelas-kelas sosial
4). Pertentangan politik
5). Pertentangan yang bersifat internasional

5.5. Interaksi Sosial dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist perspektive. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama symbolic interactionism (interaksionisme simbolik). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme tampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial; sementara kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Simbol menurut Leslie White didefinisikan sebagai “a thing the value or meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Jadi simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh seseorang (mereka) yang mempergunakannya. Menurut White makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara instrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White hanya dapat ditangkap melalui cara-cara non sensoris; melalui cara-cara simbolis. Misalnya : makna suatu warna tergantung mereka yang mempergunakannya. Warna merah, misalnya dapat berarti berani (dalam bendera kita merah berarti berani, putih suci); namun dapat pula berarti komunis (kaum merah); dapat pula berarti tempat pelacuran (daerah lampu merah). Warna putih berarti suci; dapat pula berarti berkabung; dapat pula berarti menyerah.
Makna-makna tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca indera; sebagaimana dikemukakan oleh White bahwa makna-makna tersebut tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat pada warna. Hal yang sama misalnya, air atau benda lain yang dianggap suci. Kesucian hewan tertentu (misalnya sapi bagi orang India), atau benda lain (seperti air, patung) tergantung pada makna yang diberikan oleh pihak yang menggunakannya. Jadi kesucian suatu benda tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat intrinsik yang melekat pada benda tersebut.
Herbert Blumer salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolis. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga :
(1) Pertama manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seseorang penganut agama Islam di Pakistan, karena masing-masing orang tersebut – memiliki makna (meaning) yang berlainan terhadap sapi.

(2) Kedua Blumer mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Mengapa dalam masyarakat kita warna merah bermakna berani, dan putih suci? Mengapa orang yang ideologinya radikal sering disebut kiri? Makna yang diberikan orang pada konsep-konsep merah, putih, kanan, kiri ini muncul dari interkasi sosial, Keberanian tidak melekat pada warna merah (sebagai telah disebutkan, dalam konteks warna merah dapat pula diartikan sebagai komunisme atau tempat pelacuran) dan pandangan ideologis pun tidak ada kaitannya dengan arah kiri atau kanan.

(3) Ketiga Blumer mengemukakan bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Yang hendak ditekankan Blumer di sini ialah bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu. Apakah seseorang akan menanggapi dengan baik ucapan “selamat pagi” atau assalamualaikum, tergantung pada penafsirannya apakah si pemberi salam tersebut beritikad baik ataukah beritikad buruk.

5.6. Definisi Situasi
Konsep lain yang juga penting diperhatikan dalam pembahasan mengenai interkasi sosial ialah konsep definisi situasi (the definitiation of the situation) dari William Isac Thomas (1968). Berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa interkasi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus), maka menurut Thomas seseorang tidak segera memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Menurutnya tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Misalnya dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan “selamat pagi” diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan “selamat pagi” dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan cenderung memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya mengabaikan salam tersebut.
Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya : “when men define situations as real, they are real in the consequnces” – bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konskeunsi nyata.
Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi yang mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat – keluarga, teman, komunitas. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut. Menurutnya moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.


Pertanyaan :
1. Mengapa diri disebut sebagai produk interaksi sosial? Jelaskan jawaban anda dengan konsep diri.
2. Mengapa kadang seseorang merasa perlu ”bersandiwara” dalam berinteraksi dengan orang lain? Jelaskan jawaban anda dengan menggunakan konsep dramaturgi.
3. Mengapa kadang seseorang tidak segera menjawab, ketika ia kedatangan tamu seorang laki-laki yang pakai kopiah dan membawa map yang lusuh? Jelaskan jawaban anda menggunakan konsep definisi situasi!

BAB 6 SOSIALISASI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai sosialisasi.

6.1. Pengertian Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa yang harus dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto, 1993:27). Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain, maka kemudian dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal makanan. Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain. Kemudian keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” (Sunarto, 1993:27). (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan (sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang itu untuk memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright, 1988:182). Sosialisasi tidak bersifat sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanak-kanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai makanan dan makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab sosialisasi biasanya di tangan lembaga atau orang-orang tertentu, tergantung pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan agama diarahkan oleh orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis atau lembaga pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain. Sosialisasi bisa dilakukan dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari ketika individu mengambil petunjuk mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu.
Kemudian apa yang dipelajari seseorang dalam sosialisasi? Menurut sejumlah tokoh sosiologi, yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peranan-peranan. Oleh karena di dalam menjelaskan sosialisasi, sejumlah tokoh sosiologi menjelaskannya dengan teori peranan (role theory).

6.2. Sosialisasi Menurut Pemikiran Mead
George Herbert Mead mengemukakan teori sosialisasi yang diuraikan dalam bukunya Mind, Self, Society. Mead mengemukakan tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Pada tahap pertama, play stage, merupakan suatu tahap di mana seorang anak mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang diajlankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan demikian sering dijumpai ketika anak kecil sedang bermain sering meniru peranan yang dijalankan oleh ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, guru dan sebagainya. Namun dalam tahap ini anak belum bisa memahami isi peranan-peranan yang ditirunya. Misalnya seorang anak yang meniru mengenakan dasi kemudian pura-pura berangkat ke kantor, atau seorang yang berpura-pura menjadi polisi, petani, dokter – ia belum memahami mengapa ayah pergi ke kantor, mengapa dokter memeriksa pasien, atau mengapa petani mencangkul.
Pada tahap game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang haruis dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang dikemukakan Mead ialah dalam suatu pertandingan : seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut. Misalnya dalam suatu pertandingan sepak bola seorang pemain bola tahu peranan apa yang sedang ia jalankan, sekaligus juga mengetahui peranan para pemain lain, wasit, penjaga garis dan sebagainya. Menurut Mead pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peranan orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain, biasanya anggota keluarga, terutama ayah ibu. Oleh Mead orang-orang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, mampu mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan orang tua, selaku siswa ia memahami peranan guru, selaku anggota masyarakat ia memahami peranan para tokoh masyarakat. Menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pendapat Mead tersebut di atas nampak bahwa menurut Mead, diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

6.3. Sosialisasi Menurut Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi adalah Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self concept) seseorang berlkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berlkembang melalui interaksi dengan orang lain oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Ia menamakannya demikian karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu.
Untuk memahami pandangan Cooley, bisa dicontohkan di sini seorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian-ujian semesternya, misalnya menganggap para dosen di jurusannya menganggap bodoh. Ia merasa bahwa karena ia dinilai bodoh, maka ia merasa pula para dosen kurang menghargainya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung.
Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri sendiri. Diris eseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasusu tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini ada dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seseorang tidak mengalami sosialisasi? Seseorang yang ingin berperan sebagai anggota masyarakat - agar seseorang mempunyai diri, maka seseorang tidak dapat berinterkasi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (Giden menamakan unsocialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1990 ditemukan di desa Saint-Serin , Perancis dan kasus gadis berisia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun.
Dari kasus di atas terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air kecil dengan tertib, atau berbicara. Mereka ada yang tidak bisa mengunyah makanan, juga tidak dapat tertawa atau menangis.

6.4. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi merupakan fihak-fihak yang melaksanakan sosialisasi. Ada beberapa agen sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
6.4.1. Keluarga
Peran agen sosialisasi pada tahap awal yaitu keluarga, sangat penting. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang, artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.
Agen sosialisasi keluarga terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada sistem keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup nenek, kakek, paman bibi, dan sebagainya.
Arti penting agen sosialisasi pertama terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant onthers pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, di mana ia berkomunikasi tidak saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindera lain, terutama sentuhan fisik.

5.4.2. Teman bermain
Teman bermain terdiri atas kerabat, tetangga, atau teman sekolah. Pada agen ini seorang anak mulai belajar meibatkan dirinya dengan orang yang sederajat atau sebaya. Pada tahap ini seorang anak memasuki game stage-mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajad. Dalam kelompok bermain pula seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.

5.4.3. Sekolah
Dalam agen ini seorang mempelajari beberapa hal baru. Sekolah mempersiapkan untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada oerang tuanya. Menurut Robert Dreben (dalam Sunarto, 2004:25) selain mengajarkan membaca, menulis, berhitung sekolah juga mengajarkan kemandirian (indepence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas (spesificity).

5.4.4. Media Massa
Media massa terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah), dan media elektronik (radio, televisi) diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pada perilaku khalayaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan kaulitas pesan serta peningkatan frekuensi terpaan pada masyarakat sehingga memberi peluang pada media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan bisa mengarahkan khalayak pada perilaku prososial (yang cenderung ke arah baik) dan perilaku antisosial (cenderung ke aras perilaku buruk). Beberapa penayangan adegan kekerasan, pornografi dikhawatirkan bisa meningkatkan perilaku anti sosial seperti kejahatan meningkat, pelanggaran susila dsb.

5.5. Pola Sosialisasi
Secara singkat bisa dikatakan menurut Jaeger (dalam Sunarto, 2004:31) bahwa sosialisasi bisa dilakukan melalui cara :
1. Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
2. Sosialisasi Partisipatori (partisipatory socialization)
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.

Pertanyaan :
1. Mengapa beberapa orang yang sebenarnya berbakat kadang begitu tidak yakin akan dirinya?
2. Pada masa lalau, agar perbudakan menguntungkan adalah perlu agar budak dibuat merasa inferior dan merasa hanya cocok menjadi budak. Mengapa demikian? Kemudian sesuai perkembangan jaman gambaran diri budak-pun berubah. Mengapa demikian?
3. Dapatkah anda mengingat mengenai ”cermin diri/looking glass self” dalam pengalaman anda? Paparkan perilaku anda, tanggapan orang lain, persepsi anda terhadap tanggapan mereka, dan perasaan anda tentang persepsi tersebut. Bagaimana kejadian ini mempengaruhi anda?

BAB 7 KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai perbedaan kebudayaan dan masyarakat, etnosentrisme, xenosentrisme, dan relativisme kebudayaan.

7.1. Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.

7.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya seperti kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan keben¬daan yang mempunyai kegunaan utama di Main melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkung¬an alam, pada taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf tekno¬logi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai ling¬kungan alamnya.
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.

7.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam, be¬lum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pen¬dapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebu¬dayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat¬-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peter¬nakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).

Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.13 Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang dise¬butnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items. Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai ke¬gunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.

7.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai contoh contoh suatu masyarakat sudah emncoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur, makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb. Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways (kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat. Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores). Jadi mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut.

7.5. Etnosentrisme
Etnosentrisme bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dgn standar kelompok sendiri. Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”, kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
Etnosentrisme membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.



7.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang datang dari luar negeri lebih baik.

7.7. Relativisme Kebudayaan
Kita tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai yang kita anut. Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adl berhubungan dg lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan hrs dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak benar pada semau tempat”

Pertanyaan :
1. Menurut anda apakah musik jazz lebih bagus dari musik dangdut? Bagaimana anda menjelaskan jawaban anda dengan konsep relaitivisme kebudayaan?
2. Apakah etnosentrisme membantu ketahanan nasional atau etnosentrisme membahayakan ketahanan nasional?